PENGADILANTATA USAHA NEGARA BENGKULU Jl. RE. Martadinata No. 1. Telp (0736) 52011. email : ptun.bengkulu@ bengkulu@ptun.org
Indonesia sebagai negara demokratis yang memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif guna mewujudkan prinsip check and balances. Bentuk kontrol yang dimiliki lembaga yudisial kehakiman melalui lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memberikan pengayoman dan kepastian hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan tujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram seta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjadi terpeliharanya hubungan serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan para warga masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang yang dibuat dengan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pelaksanaan proses peradilan memiliki problematika yang sistematis dalam rangka pelaksanaan putusan hakim. Dalam hal putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Problematika yang terjadi yaitu penerapan eksekusi melalui pencabutan keputusan tata usaha Negara KTUN, Problem eksekusi melalui uang paksa, sanksi administrasi dan problem penyampaian putusan yang diumumkan di media sosial. Eksekusi putusan hakim PTUN saat ini masih mengalami berbagai problematika yang terjadi karena upaya pelaksanaan putusan diserahkan kepada pejabat TUN. Beberapa problematika yang terjadi belum diatur secara jelas dan memiliki payung hukum yang pasti. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Problem Eksekutorial Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Satria Putra Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia E-Mail Faisalsatria996 Abstract Indonesia as a democratic country that has a system of state regulation that divides power into three, namely the legislature, executive, and judiciary to realize the principle of checks and balances. The form of control is owned by judicial institutions judiciary through judicial institutions that have the authority to provide legal certainty. The State Administrative Court as a judicial institution was formed based on Law No. 5 of 1986 to realize the state and national life system that is prosperous, safe, peaceful after order that can guarantee the position of citizens in law and become maintained a harmonious, balanced and harmonious relationship between the apparatus in the field of state administration and the citizens. This research uses normative legal research made with descriptive methods of analysis and using approaches qualitative. The implementation of the judicial process has systematic problems in the framework of the implementation of the judge's decision. In the case of the decision of the judges of the State Administrative Court, the problems that occur are the application of executions through the revocation of state administrative decisions KTUN, the problem of execution through forced money, administrative sanctions, and the problem of delivering decisions posted on social media. The execution of the PTUN judge's decision is still experiencing various problems that occurred because the efforts to implement the verdict were handed over to TUN officials. Some of the problems that occur have not been regulated and have a definite legal umbrella. Keywords Authority PTUN, Judge's Verdict PTUN , Problematic execution. Abstrak Indonesia sebagai negara demokratis yang memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif guna mewujudkan prinsip check and balances. Bentuk kontrol yang dimiliki lembaga yudisial kehakiman melalui lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memberikan pengayoman dan kepastian hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga peradilan dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan tujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram seta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjadi terpeliharanya hubungan serasi, seimbang serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha Negara dengan para warga masyarakat. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif yang yang dibuat dengan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan kualitatif. Pelaksanaan proses peradilan memiliki problematika yang sistematis dalam rangka pelaksanaan putusan hakim. Dalam hal putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, Problematika yang terjadi yaitu penerapan eksekusi melalui pencabutan keputusan tata usaha Negara KTUN, Problem eksekusi melalui uang paksa, sanksi administrasi dan problem penyampaian putusan yang diumumkan di media sosial. Eksekusi putusan hakim PTUN saat ini masih mengalami berbagai problematika JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG yang terjadi karena upaya pelaksanaan putusan diserahkan kepada pejabat TUN. Beberapa problematika yang terjadi belum diatur secara jelas dan memiliki payung hukum yang pasti. Kata Kunci Kewenangan PTUN, Putusan Hakim PTUN, Problematika eksekusi. PENDAHULUAN Sebagai Negara demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga lembaga, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga lembaga tersebut memiliki keterkaitan dan saling kontrol guna memenuhi prinsip “check and balances”. Peran kontrol yang dimiliki oleh lembaga yudisial kehakiman adalah melalui lembaga peradilan. Kaitan dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 Ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI 1945 menjelaskan bahwa “Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Selanjutnya dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara yag diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. UU PTUN merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang salah satu pelaksana kekuasaan peradilan bagi masyarakat yang mencari keadilan pada sengketa tata usaha Negara. Masyarakat yang mencari keadilan dimaksud adalah orang perorangan atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan TUN beschikking sehingga mengajukan gugatan ke PTUN, yang berisi tentang tuntutan atas Keputusan TUN yang disengketakan, PTUN dapat membatalkan melalui suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, secara serasi, seimbang, dan selaras antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Menurut Sjachran Basah, Tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi Negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dengan kepentingan individu. Sedangkan Menurut Marbun tujuan Peradilan TUN adalah untuk mencegah tindakan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG administrasi Negara yang melawan hukum penjatuhan sanksi bagi pejabat negara yang merugikan masyarakat. Dalam UU PTUN diatur mengenai objek sengketa yang diberikan wewenang penyelesaiannya pada PTUN, yaitu adalah Keputusan TUN beschikking yang terdapat pada pasal 1 ayat 3 yaitu “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Namun dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terdapat perluasan makna Keputusan TUN yaitu “a Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b Keputusan badan dan/atau pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya; c berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AAUPB; d bersifat final dalam arti lebih luas; e keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan f keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.” Sedangkan PTUN berwenang menyelesaikan sengketa Keputusan TUN yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya bahwa setiap warga negara atau badan hukum yang bersengketa di PTUN mengharapkan adanya putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga ada penyelesaian yang diperoleh dari gugatan yang diberikan kepada pengadilan dalam eksekusi putusan tersebut. Masalah yang timbul dalam pelaksanaan putusan adalah sulitnya eksekusi terhadap putusan PTUN yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan pemaparan di atas, yang difokuskan pada penelitian ini adalah apa saja kompetensi PTUN dan muatan putusan hakim PTUN ? Apa saja problematika putusan hakim PTUN ?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan pengadilan tata usaha negara dan problem eksekutorial putusan hakim pengadilan tata usaha Negara. METODE PENELITIAN Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan statue Aprroach dalam level dogmatik hukum yang memfokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah dan norma-norma dalam peraturan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG perundang-undangan serta sumber hukum kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan mengambil bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang terkait dan diuraikan secara deskriptif analisis dengan metode penyajian kualitatif. PEMBAHASAN Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara PTUN merupakan institusi hukum yang seperti berada di tengah “keawaman” masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui PTUN sebagai sebuah pengadilan yang dapat memutuskan sebuah sengketa. Masyarakat belum banyak memahami PTUN memiliki kewenangan mengadili sengketa antara warga atau kelompok masyarakat dengan pemerintah akibat adanya Keputusan Pemerintah yang dianggap melanggar undang-undang atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kompetensi pengadilan dibedakan menjadi dua yaitu Pertama Kompetensi relatif adalah kewenangan yang dimiliki lembaga peradilan yang mengatur tentang wilayah hukum yang mencakup wilayah kewenangannya. Pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya. Kompetensi relatif wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dibedakan atas tiga daerah atau wilayah hukum, masing-masing meliputi wilayah kota madya atau kabupaten dan provinsi. dan Kedua Kompetensi Absolute adalah kewenangan yang berhubungan dengan kewenangan PTUN memeriksa dan mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok sengketa. Meskipun badan/pejabat tata usaha negara dapat digugat di PTUN, tetapi tidak semua tindakannya dapat diadili. Tindakan badan/pejabat yang dapat digugat di PTUN yaitu hanya melalui sengketa Keputusan TUN beschikking, bahkan untuk masalah pembuatan peraturan regeling yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat umum, kewenangan untuk mengadili berada pada Mahkamah Agung melalui uji materiil. Kewenangan Absolute PTUN tidak hanya menangani Keputusan TUN saja, namun dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu adalah kewajiban. Menurut Sjahran Basah, PTUN memiliki pembatasan dalam kewenangannya, yaitu Pembatasan langsung yang tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Putusan Hakim vonnis adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak. Putusan Pengadilan dibedakan atas dua macam, yaitu Pertama putusan akhir lind vonnis Putusan Akhir lind vonnis adalah putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa. Putusan akhir adalah putusan yang bersifat hukum condemnatoir, bersifat menciptakan constitutif dan bersifat menerangkan declaratif. Kedua Bukan putusan akhir putusan sela/tussen vonnis/schorsing adalah putusan oleh Hakim sebelum mengeluarkan putusan akhir dengan maksud mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan sela dibedakan menjadi dua macam, yaitu putusan praeparatoir, misalnya putusan untuk menggabungkan dua perkara menjadi satu atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu di mana para pihak harus bertindak. Putusan interlocutoir adalah putusan berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan suatu hal. Jika dicermati lebih dalam, pada Pasal 97 UU PTUN menjelaskan tentang Putusan yang lebih eksplisit, pada ayat 7 menjelaskan bahwa putusan pengadilan dapat berupa “a gugatan ditolak; b gugatan dikabulkan; c gugatan tidak diterima; dan d gugatan gugur.” setelah dijatuhi putusan dan perkara dikabulkan, maka selanjutya diatur pada ayat 8 yaitu “Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.” Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dibuat diatur dalam ayat 9 yaitu “a pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau b pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau c penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara.” Dalam penjelasan pasal 97 di atas detail tentang putusan, artinya bahwa putusan tersebut memuat apa yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat tata usaha negara terhadap isi putusan sebagai langkah eksekutorial. Isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap seharusnya menjadi dasar bagi pejabat atau lembaga tata usaha negara dalam melaksanakan keputusan yang telah menjadi “kewajiban” baginya. Namun dalam pelaksanaan putusannya ternyata masih terdapat beberapa problematika yang terjadi dan menimbulkan ketidakpastian hukum. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG Problem Eksekutorial Putusan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai badan peradilan yang mempunyai kewenangan menghasilkan putusan yang memiliki kekuatan tergantung pada implementasi putusan tersebut. Proses eksekusi putusan menjadi tolak ukur sarana penting dalam penyelesaian sebuah sengketa. Eksekusi putusan merupakan realisasi dari tindakan atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaan eksekusi masih terdapat problem yang terjadi atas ketidakpatuhan para pihak dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terutama perihal sanksi yang diterima oleh pejabat negara yang tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakannya. Beberapa problemnya ialah 1. Problem penerapan eksekusi melalui Pencabutan Keputusan TUN. Putusan Pengadilan TUN yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a, maka diterapkan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU TUN, yaitu “empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat 1 dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.” Berkaitan dengan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, maka permasalahan yang muncul kapan suatu KTUN yang dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi ? Apakah terhadap KTUN yang dinyatakan tidak sah tersebut harus memerlukan eksekusi ? Terhadap permasalahan tersebut dikaitkan dengan prinsip keabsahan tindakan pemerintah, dalam hal ini KTUN terkait dengan batas kepatuhan pejabat TUN kepada hukum, maka keputusan hukum yang tidak sah, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan mengikat dan dengan demikian pula tidak perlu adanya eksekusi putusan, kecuali yang menyangkut kewajiban tertentu yang harus dilaksanakan sehubungan dengan dinyatakan tidak sahnya keputusan TUN. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan “eksekusi otomatis”. Mengacu pada ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a UU PTUN, justru menimbulkan hambatan dalam praktik eksekusi putusan pada Pengadilan TUN itu sendiri maupun penggugat selaku pencari keadilan, hambatan itu dapat terjadi apabila putusan Pengadilan TUN telah berkekuatan hukum tetap, tetapi tergugat tidak mau mencabut keputusan TUN yang bersangkutan dengan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG mengambil sikap diam, tidak merealisasikan eksekusi putusan Pengadilan TUN sehubungan dengan amar putusan menurut ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a UU PTUN, maka menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 UU PTUN, harus menunggu empat bulan setelah keputusan TUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. 2. Problem Eksekusi melalui Uang Paksa. Penerapan uang paksa dalam konsep hukum administrasi merupakan bagian dari sanksi administrasi yang dikenakan sebagai alternatif untuk paksa nyata besturdwang yang dilakukan organ atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Pengenaan sanksi uang paksa pemerintah dwangsom dianggap sebagai putusan repatoir. Sanksi ini diterapkan jika warga negara melakukan pelanggaran. Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Keputusan TUN yang menguntungkan, Pemohon izin diisyaratkan memberikan uang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar tidak segera mengakhirinya, maka uang jaminan dipotong sebagai dwangsom. Organ pemerintah dalam menetapkan uang paksa, menentukan apakah uang paksa itu dibayar dengan cara mengangsur ataupun harus sekali bayar berdasarkan waktu tertentu. Organ pemerintah juga harus menetapkan jumlah maksimum uang paksa serta memperhatikan kesesuaian dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan harus sesuai dengan tujuan ditetapkannya penetapan uang paksa. Dalam ketentuan pasal 116 ayat 4 UU PTUN yang berbunyi “Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif”. terdapat karakter yuridis penerapan uang paksa sebagai akibat dipenuhinya putusan Pengadilan TUN. Eksekusi putusan ini melalui pembayaran sejumlah uang paksa lazim diterapkan dalam putusan yang dikenakan dalam lingkup peradilan umum Perdata. Dalam putusan pengadilan memutuskan penghukuman terhadap yang kalah untuk suatu prestasi, maka dapatlah ditentukan dalamnya bahwa apabila yang terhukum tidak/belum memenuhi keputusan itu, yang sebagaimana disebut uang paksa. Dengan demikian uang paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung. Permasalahan yang sering muncul dengan mekanisme pembayaran sejumlah uang paksa dalam hubungannya terhadap siapa uang paksa tersebut dibebankan ? Apakah pada keuangan instansi pejabat TUN yang bersangkutan atau kepada keuangan/harta pejabat TUN JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG tersebut secara pribadi yang tidak melaksanakan putusan Peradilan TUN, dan berapa besar nominal yang harus dibayar ? Pembebanan uang paksa tersebut harus dibebankan kepada instansi atau badan dari pejabat TUN tersebut karena jabatannya. Namun faktanya pembayaran sejumlah uang paksa tidak menyelesaikan masalah substansial yang sebenarnya terjadi terhadap sengketa TUN. Karena sebagian besar penggugat menghendaki untuk adanya perubahan atas Keputusan TUN yang merugikan dirinya. Permasalahan tersebut terkait dengan penerapan sanksi pembayaran sejumlah uang paksa menyebabkan tidak berjalannya putusan pengadilan TUN karena tidak adanya peraturan pelaksanaan dalam menerapkan sanksi berupa uang paksa. 3. Eksekusi melalui Penerapan Sanksi Administrasi Sanksi merupakan alat kekuasaan yang digunakan penguasa sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap norma hukum administrasi. Penerapan sanksi administrasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 116 ayat 4 UU PTUN merupakan sanksi yang dikenakan oleh Pengadilan TUN sebagai pelaksana fungsi yudisial terhadap pejabat TUN sehubungan tidak patuhnya dengan Putusan Pengadilan TUN. Dalam kaitannya penerapan sanksi administrasi terhadap pejabat TUN dalam kaitannya dengan pelaksanaan putusan pengadilan TUN yang tidak ditaati pejabat TUN, masih menimbulkan permasalahan siapa yang berwenang menerapkan sanksi, misalnya terhadap Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dan lainnya. Putusan hakim bersifat deklaratoir, sebatas menyatakan bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu tidak sah atau batal. Kewenangan Pengadilan TUN hanya terbatas pada menetapkan sanksi administrasi apa yang akan dikenakan terhadap pejabat TUN. Namun dalam menjalankan penerapan sanksi administrasi yang memiliki kewenangan untuk melakukan adalah pejabat/organ pemerintahan melalui penerapan perundang-undangan. 4. Diumumkan di Media Massa Dalam pasal 116 ayat 5 disebutkan bahwa “pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan maka diumumkan pada mesia massa cetak setempat oleh panitera.” Sanksi ini bertujuan guna memberikan tekanan psikis kepada pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam ketentuan tersebut tidak ada kejelasan tentang detail data pejabat yang diumumkan, seperti nama pejabat dan jabatannya. Karena dalam mengeluarkan Keputusan TUN pejabat tersebut bukan sebagai pribadi melainkan JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG sebagai pejabat. Permasalahan lain yang kemungkinan timbul terkait pengumuman di media massa yaitu rentan dituduhnya sebagai pencemaran nama baik dan dimungkinkan untuk terjadinya pelaporan balik. Berdasarkan tidak rincinya ketentuan tersebut dalam UU No 5 Tahun 1986 dan UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN, maka seharusnya dilakukan revisi terhadap peraturan perundang-undangan tersebut atau ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan secara rinci sanksi tersebut. Jika melihat problem di atas, Menurut Irfan Fachrudin, Problem yang terjadi pada pelaksanaan putusan peradilan TUN telah terjadi sejak peradilan TUN berdiri, hingga saat ini belum ditemukan mekanisme bagaimana eksekusi dilakukan sesuai dengan materi putusan. Artinya bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap yang tidak dilaksanakan eksekusinya maka tidak bermanfaat dan tidak memiliki ketetapan hukum. Seyogianya putusan hakim adalah hukum atau undang-undang yang mengikat pihak yang bersengketa, karenanya para pihak seharusnya melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. SIMPULAN Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kompetensi mengadili sengketa antara warga negara atau kelompok masyarakat dengan pemerintah akibat adanya Keputusan TUN beschikking sebagai hukum tertulis dan Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai hukum tidak tertulis. Dalam melaksanakan fungsi peradilan, PTUN diberi wewenang untuk memberikan Putusan Vonnis untuk menyelesaikan sebuah perkara atau sengketa antara warga negara dan pemerintah. Eksekusi putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap oleh pejabat TUN tidak sepenuhnya efektif, seperti eksekusi melalui pembayaran uang paksa, eksekusi putusan sanksi administrasi dan sampai pada pengumuman lewat media massa. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kepastian pelaksanaan putusan pengadilan TUN yang tidak berjalan maksimal karena upaya eksekusi diserahkan sepenuhnya kepada pejabat TUN. Beberapa problem yang terjadi terhadap eksekusi Pengadilan TUN belum diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-undangan. Karenanya warga negara dan pejabat/organ pemerintahan banyak yang tidak mematuhi putusan tersebut. JUSTISI – [2021] UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SORONG DAFTAR PUSTAKA Irvan Mawardi, 2016, Paradigma Baru PTUN, Yogyakarta Thafa Media. Ismail Rumadan, 2012, Problematika Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol 1 No 3, DOI Ivan Fauzani Raharja, 2014, Penenegakan Hukum Sanksi Administrasi, Jurnal Inovatif, Vol 7 No 2. Nico Utama Handoko, 2020, Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam Pelaksanaannya, Jurnal Pakuan Law Review, Vol 6 No 02, DOI R. Wiyono, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cet 2, Jakarta Sinar Grafika. Rechtreglement voor de Buitengewesten Ridwan, dkk, 2018, Perluasan Kompetensi Absolute PTUN, Yogyakarta Kreasi Total Media. __________, 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, Yogyakarta FH UII Press. Marbun, 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Cet-3, Yogyakarta FH UII Press. ___________, 2018, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta FH UII Press. Sjahran Basah, 1984, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Yahya Harahap, 2009, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta Sinar Grafika. ... State Businesses that fail to comply with Article 97 Subsections B and C and implement State Administrative Court judgements. Putra, 2021 One could argue that the use of forced money under the idea of administrative law is a sort of administrative sanction used by government organs or officials as an alternative to real coercion bestuursdwang in carrying out their duties. The legal purpose of these sanctions, which were imposed directly without a court order, is "reparatoir," which means that they are meant to stop future harm or loss while also restoring the situation to how it was before. ...Eka Deviani Marlia Eka PutriDaffa Ladro KusworoThe problem that occurs next is that not many TUN Courts have handed down dwangsom in decisions to strengthen the executable decision, as a result of implementing regulations for coercive measures that are not yet Government Regulation PP Number 43 of 1991 concerning Compensation and Processes for its Implementation in the State Administrative Court, Article 117 of Law No. 51 of 2009 is implemented by the regulation specified in that regulation. The two main rules of the PP are compensation and compensation. Because forced money dwangsom is distinct from compensation or compensation, from a legal standpoint, the PP still does not take into account the laws on forced money techniques. The term "legal vacuum" rechtsvacuum refers to a situation where some things have not been covered by positive legislation, given that the law itself cannot address all facets of life that are constantly methodology taken in this text is juridical-normative, or based on legal material and looking at concepts, theories, legal principles, and statutory rules. The study's findings indicate that there are varying and mutually counterproductive norms regarding the quantity of forced money to be paid, the kinds of administrative sanctions to be applied, and the methods for carrying them out, along with transfers of positions and the filling of the Plaintiff's positions by other people, all of which delay the administration of RumadanThe existence of the Administrative Court in the judicial system in Indonesia as a manifestation of the commitment of the state to provide legal protection of individual rights and the rights of the general public so as to achieve harmony, harmony, balance, and dynamic and harmonizing the relationship between citizens and the State. But the execution of the decision of the Administrative Court which have permanent legal force by the State Administration officials are not fully effective, although the mechanisms and the stages of execution has been carried out. Factors causing poor execution of the decision of the Administrative Court, among others; absence of rule of law that forced the officials to implement the State Administrative Court's decision the commandment of the judge's decision that dare not include the forced payment of a sum of money when the state administration officials concerned did not implement the decision of the Court; factor and compliance officials in carrying out the State Administrative Court decision. Keywords Execution, Judgment of the MawardiIrvan Mawardi, 2016, Paradigma Baru PTUN, Yogyakarta Thafa Ivan FauzaniIvan Fauzani Raharja, 2014, Penenegakan Hukum Sanksi Administrasi, Jurnal Inovatif, Vol 7 No Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam PelaksanaannyaNico Utama HandokoNico Utama Handoko, 2020, Kekuatan Eksekutorial Putusan PTUN dan Implikasi Dalam Pelaksanaannya, Jurnal Pakuan Law Review, Vol 6 No 02, DOI Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Cet 2, Jakarta Sinar GrafikaR WiyonoR. Wiyono, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet 2, Jakarta Sinar Grafika. Rechtreglement voor de BuitengewestenDkk RidwanRidwan, dkk, 2018, Perluasan Kompetensi Absolute PTUN, Yogyakarta Kreasi Total Administrasi Negara I___________, 2018, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta FH UII dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di IndonesiaSjahran BasahSjahran Basah, 1984, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung Alumni.

perluasanmakna keputusan tata usaha negara sesuai pasal 87 uu nomor 30 tahun 2014 adalah: a) penetapan tertulis yang juga mencakup perbuatan faktual, b) keputusan badan dan/atau pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya, c) berdasarkan ketentuan perundangundangan dan aaupb, d) bersifat final dalam

BerandaKlinikKenegaraanPengadilan Tata Usah...KenegaraanPengadilan Tata Usah...KenegaraanSenin, 2 Agustus 2010Apakah pihak tergugat intervensi dalam peradilan tata usaha negara, dapat mengajukan permohonan banding terhadap suatu keputusan pengadilan tata usaha tingkat I? Terima tekstual, UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara “UU PTUN” menyatakan pihak yang bisa mengajukan banding terhadap putusan pengadilan tata usaha negara adalah penggugat dan tergugat. Pasal 122 UU PTUN menyebutkan“Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat”.Namun, dalam prakteknya, tergugat II intervensi juga bisa melakukan upaya hukum seperti banding, kasasi atau peninjauan kembali. Hal ini disampaikan oleh hakim yang juga pejabat Hubungan Masyarakat Pengadilan Tata Usaha Negara “PTUN” Jakarta Mustamar kepada hukumonline. Menurut Mustamar, tergugat II intervensi yang telah ditetapkan sebagai pihak oleh pengadilan bisa mengajukan upaya hukum. Ia menjelaskan, meskipun tergugat II intervensi bukan pejabat tata usaha negara, tetapi kedudukannya tetap sebagai tergugat. Apabila, misalnya tergugat asli atau pejabat tata usaha negara tidak mengajukan banding terhadap putusan PTUN tingkat pertama yang membatalkan surat keputusannya, maka tergugat II intervensi bisa mengajukan banding demikian, jelas Mustamar, dalam sidang biasanya pihak yang kepentingan paralel dengan tergugat ditanyakan apakah ingin menjadi saksi yang mendukung tergugat atau menjadi pihak ketiga tergugat II intervensi. Apabila ia memilih menjadi saksi maka ia tak memiliki hak mengajukan upaya hukum lanjutan banding, kasasi, atau PK di kemudian informasi, penjelasan pasal 83 ayat 1 dan ayat 2 UU PTUN menjelaskan ada tiga cara pihak ketiga bisa masuk ke dalam perkara yang sedang berjalan di PTUN pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan;adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan karena permintaan salah satu pihak penggugat atau tergugat; ataumasuknya pihak ketiga ke dalam proses perkara yang sedang berjalan dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara penjelasan kami. Semoga No. 5 Tahun 1986 sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha NegaraTags

SIKAPHAKIM - PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TANJUNG PINANG SIKAP HAKIM DALAM KEDINASAN SIKAP HAKIM DALAM PERSIDANGAN Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku. Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau anti pati terhadap pihak-pihak yang berperkara. Jakarta - Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Apa yang dimaksud peradilan tata usaha negara?Secara umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau PERATUN merupakan lingkungan peradilan dibentuk dengan tanda disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember tata usaha negara menjadi lembaga hukum di bawah Mahkamah Agung MA yang membantu menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara TUN.Dilansir situs resmi PTUN, berikut ini tujuan dibentuknya peradilan tata usaha Untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum2. Menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga Peradilan Tata Usaha NegaraDalam laman resmi PTUN juga dijelaskan tugas peradilan tata usaha negara sebagai Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara TUN- Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara TUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berwenang- Peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim- Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan guna meningkatkan dan memantapkan martabat dan wibawa aparatur dan lembaga peradilan- Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara- Membina calon hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara PTUN agar menjadi hakim yang profesionalFungsi Peradilan Tata Usaha NegaraAdapun fungsi peradilan tata usaha adalah sebagai Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baikmenyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara di bidang pengertian peradilan tata usaha negara dan tujuannya secara lengkap. Simak Video "BPOM Digugat ke PTUN Buntut Obat Sirup Tercemar Etilen Glikol" [GambasVideo 20detik] pay/pay Adapunfungsi peradilan tata usaha adalah sebagai berikut. 1. Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum 2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya 3. Ada yang berpendapat sebaiknya hakim tetap sebagai pejabat negara, diubah menjadi pejabat negara tertentu, dibagi dua menjadi PNS dan pejabat negara, disebut pegawai yudisial, pejabat negara khusus, dan hakim saja tanpa perlu diberi embel-embel pejabat negara atau PNS. Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah DIM terkait Rancangan Undang-Undang RUU Jabatan Hakim kepada DPR. Salah satu fokus permasalahan mengenai status hakim sebagai pejabat. Status tersebut berimpilkasi cukup kompleks, terutama berkaitan dengan rekrutmen, sistem karier, masa jabatan, dan pemenuhan hak-fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Sejak 2011, rekrutmen hakim bak "mati suri". Sudah hampir tujuh tahun tidak ada perekrutan hakim. Padahal, rekrutmen hakim dirasa sangat mendesak, mengingat meningkatnya beban kerja dan kebutuhan pengisian 86 satuan kerja baru pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara akibat pemekaran wilayah. Mengutip Laporan Tahunan Mahkamah Agung MA 2016, berdasarkan analisis beban kerja tahun 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebanyak orang. Sementara, jumlah hakim yang ada saat ini orang. Berarti, masih ada kekurangan sebanyak hakim. Ternyata permasalahannya, ya itu tadi, implikasi dari status hakim sebagai pejabat negara belum jelas. Hal ini diamini pula Hakim Agung yang juga Ketua Ikatan Hakim Indonesia IKAHI Suhadi. "Nah, ini permasalahannya, sehingga dalam hal rekrutmen hakim, sampai tujuh tahun kita terbelenggu," katanya saat ditemui hukumonline di kantornya di Gedung MA, Jumat 26/5/2017. Baca Juga Dilema Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara Memang, sesuai Pasal 19 UU Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, "Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang". Hakim dimaksud adalah hakim pada MA dan hakim di bawahnya pada lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, serta hakim pada pengadilan khusus hakim ad hoc yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Penyebutan hakim sebagai pejabat negara kembali diperjelas dalam Pasal 31 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 31 ayat 1 menyebutkan, "Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung". Tak hanya UU Kekuasaan Kehakiman. Masih ada beberapa UU lain yang menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. Terakhir, UU Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU ASN. Dimana, Pasal 122 menyebutkan secara tegas bahwa hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc, merupakan pejabat negara. Akibat perubahan status hakim menjadi pejabat negara, permintaan MA untuk perekrutan hakim kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi KemenPAN-RB tidak dapat dipenuhi. Sebab, KemenPAN-RB hanya berwenang menetapkan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil CPNS, bukan Calon Pejabat Negara. Padahal, menurut Suhadi, sejak 2011 dan tahun-tahun berikutnya, MA selalu memiliki alokasi anggaran untuk rekrutmen hakim. Namun, rekrutmen tidak dapat dilaksanakan karena terbentur ketiadaan aturan mengenai tata cara rekrutmen calon hakim selaku pejabat negara yang memang memiliki karakteristik berbeda dengan pejabat negara lain. "Dulu kita undang dari MenPAN-RB dan BKN. Bagaimana, bisa tidak? Selama ini, penerimaan hakim dari MenPAN-RB seluruh kementerian/lembaga dapat kuotanya dari sana, untuk pegawai negeri sekian. Tapi Di sana kita mengatakan angkat tangan’, kita hanya mengurus pegawai negeri dan ASN, kita tidak mengurus pejabat negara," ujar Suhadi mengutip pernyataan kedua lembaga pemerintah itu. Baca Juga Persoalan Ini Jadi Penghambat Rekutmen Calon Hakim Respon serupa juga datang dari Kementerian Keuangan Kemenkeu. Suhadi membeberkan, ketika berkonsultasi dengan Kemenkeu, lembaga yang dipimpin Sri Mulyani ini mengaku tidak dapat mengeluarkan pembayaran untuk penerimaan hakim. Alasannya, harus ada Keputusan Pejabat Penyelenggara Negara, misalnya Presiden, sebagai dasar pembayaran. Namun, sebelum lebih jauh masuk pada pokok permasalahan kedudukan hakim sebagai pejabat negara, mari tengok perjalanan posisi hakim hingga menjadi pejabat negara dalam berbagai UU. Seperti diketahui, dahulu, badan peradilan belum berada satu atap di bawah MA, tetapi masih "tersebar" di beberapa kementerian/lembaga. Peradilan umum dan tata usaha negara masih di bawah Departemen Kehakiman, peradilan agama di bawah Departemen Agama, dan peradilan militer yang masih berada di bawah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Mabes TNI. Tak heran, jika dahulu hakim-hakim berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS atau militer. Dengan keberadaan hakim di bawah eksekutif, dahulu, hakim sangat rentan diintervensi penguasa. Bahkan, jika menilik ke belakang, di era orde lama dan orde baru, kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya bebas dan merdeka. Dalam UU Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman misalnya. Pasal 19 UU Tahun 1964 jelas sekali membuka "pintu" bagi campur tangan Presiden. Secara gamblang, penjelasan Pasal 19 menyebutkan, pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Ada kalanya, Presiden harus turun atau campur tangan, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar. Bagaimana dengan era orde baru? Meski UU Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa, tetapi masih ada celah karena ada klausul "kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang." Hingga era reformasi pun tiba. Ketetapan MPR-RI tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara mengamanatkan pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Wujud pemisahan dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah Kementerian/Lembaga yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan tunggal MA yang lazim disebut sistem satu atap. Kemudian, UU Kekuasaan Kehakiman direvisi dengan UU Tahun 1999 dan UU Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian direvisi dengan UU Tahun 1999. Pada 2001, UUD 1945 juga mengalami amandemen ketiga, dimana Pasal 24 menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dari perubahan yang terjadi setelah era reformasi, UU Kepegawaian mulai menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Berikut riwayat posisi dan kedudukan hakim di berbagai UU hingga akhirnya dikukuhkan menjadi pejabat negaraUU Kekuasaan Kehakiman dan Perubahannya UU Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/LembagaPasal 7 1 Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara 2 Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan. 3 Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat 1 di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata UU Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/Lembaga. Namun, disebutkan di situ, Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala NegaraPasal 10 1 Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan; a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha 11 1 Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutanPasal 31 Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala 32 Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan Pasal 31 Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan Pasal 32 Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugasnya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung-jawabnya. UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1970 Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1970 Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA ***Pasal 11 1 Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, secara organisatori, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 2 Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan 11 A 1 Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 lima tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku. 2 Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. UU Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara, tetapi hakim disebut sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sudah ada pengalihan badan-badan peradilan ke MAPasal 31 Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam 43 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 1 a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;Pasal 44 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;Pasal 45 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 3 a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer; b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung UU Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pertama kali di UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat negaraPasal 19 Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam 31 1 Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Kepegawaian dan Perubahannya UU Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Pejabat negara hanya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah AgungPasal 2 1 Pegawai Negeri terdiri dari a. Pegawai Negeri Sipil, dan b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 2 Pegawai Negeri Sipil terdiri dari a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; b. Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pasal 2 ayat 2 a. Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah salah satunya − Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas Negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan 11 Yang dimaksud dengan Pejabat Negara ialah 4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung; UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1974 Pertama kali di UU Kepegawaian, hakim disebut sebagai pejabat negara. Namun, dalam UU ini, ada pula penyebutan hakim sebagai "Pejabat Negara Tertentu".Pasal 11 1 Pejabat Negara terdiri atas d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan; 2 Pegawai negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri. 3 Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknyaPasal 1 7. Jabatan Organik adalah jabatan negeri yang menjadi tugas pokok pada suatu satuan organisasi Pasal 11 ayat 3 Yang dimaksud pejabat negara tertentu adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang berasal dari jabatan karir; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh yang berasal dari diplomat karir, dan jabatan yang setingkat menteri. UU Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ASN UU ASN ini mencabut UU Kepegawaian sebelumnya. Dalam UU ASN, hakim disebut sebagai pejabat negara, kecuali hakim ad hoc. Tidak ada lagi Penyebutan hakim sebagai Pejabat Negara Tertentu.Pasal 122 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;Empat UU Badan Peradilan UU Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara, tetapi hakim disebut sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilanPasal 1 4. Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan. Pasal 18, 19, 20 mengatur syarat prajurit untuk diangkat menjadi Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer UtamaPasal 21 Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. UU Tahun 2009 tentang Peradilan Umum UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2004 Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya disebut Pasal 12 1 Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Namun, dari UU Tahun 1986, UU Tahun 2004, hingga UU Tahun 2009 terlihat beberapa perubahan, antara lain - Syarat untuk menjadi hakim pengadilan negeri yang semula dalam UU Tahun 1986 harus pegawai negeri, dihapuskan. - Dalam Pasal 13 UU Tahun 1986 disebutkan Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Pasal 13 ini diubah dalam UU Tahun 2004 menjadi 1 Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung - Pasal 25 UU Tahun 1986 tidak detil mengatur hak-hak hakim. Namun, dalam UU Tahun 2009, bunyi Pasal 25 diubah menjadi 1 Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan. 2 Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun, dan hak-hak lainnya. 3 Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berupa a. tunjangan jabatan; dan b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4 Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berupa a. rumah jabatan milik negara; b. jaminan kesehatan; dan c. sarana transportasi milik negara. 5 Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya. 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan. UU Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1986. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2004 Hampir serupa dengan UU Peradilan Umum. Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya menyebut, hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2006 Hampir serupa dengan UU Peradilan Umum. Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya menyebut, hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme UU Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan NepotismePasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang 2 Penyelenggara Negara meliputi 5. Hakim;Penjelasan Pasal 2 Angka 5 Yang dimaksud dengan “Hakim” dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan PeradilanBeragam konsekuensi hakim sebagai pejabat negara Setelah mencermati perjalanan posisi hakim hingga berujung pada "penyematan" status pejabat negara, mari lebih jauh membahas konsekuensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Namun, pembahasan dikhususkan pada hakim-hakim yang berada di bawah MA, yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Suhadi mengungkapkan, ada beberapa konsekuensi yang timbul dari kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Konsekuensi itu, antara lain berkaitan dengan pola rekrutmen, pendidikan, karir, kepangkatan, periodesasi masa jabatan, serta pemenuhan hak dan fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Baca Juga Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara Lebih lanjut, Suhadi menjelaskan, pada umumnya, pejabat negara memiliki periodesasi masa jabatan, misalnya lima tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu periode. Periodesasi masa jabatan semacam ini tidak dapat diterapkan kepada hakim? Sebab, jabatan hakim tidak mengenal periodesasi, melainkan karir dan pensiun. Selain itu, pejabat negara juga tidak mengenal kepangkatan. Namun, layaknya PNS, hakim memiliki kepangkatan atau golongan. Bahkan, kepangkatan hakim mengikuti kepangkatan PNS. Begitu pula dengan struktur gaji. Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah PP Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung menyebutkan, ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan PNS. Dari sisi rekrutmen dan pendidikan calon hakim, konsekuensinya menjadi lebih rumit. Lazimnya, pejabat negara dipilih melalui proses seleksi lembaga lain, pemilihan umum, atau penunjukan. Faktanya, selama ini, pola rekrutmen hakim hampir serupa PNS, meski memiliki tata cara tersendiri, yakni melalui proses seleksi CPNS dan pendidikan calon hakim. Sebagai panduan, Ketua MA kala itu, Harifin A Tumpa mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 169/KMA/SK/X/2010 tentang Penetapan dan Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu. Kurikulum ditetapkan terdiri dari kurikulum pendidikan dan latihan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA, serta panduan magang pada pengadilan tingkat pertama. Dengan tahapan sebagai berikut No Kegiatan Minggu 1 Diklat I 2 Minggu 2 Magang I sebagai administrator 22 Minggu 3 Diklat II 13 Minggu 4 Magang II sebagai panitera pengganti 26 Minggu 5 Diklat III 13 Minggu 6 Magang III sebagai asisten hakim 30 Minggu Total 106 Minggu 2 tahun lebih Setelah lulus pendidikan hakim selama dua tahun lebih, para calon hakim tersebut baru dapat diangkat menjadi hakim ketika diusulkan oleh Ketua MA kepada Presiden. Sayang, pasca penetapan status hakim sebagai pejabat negara, terjadi kekosongan hukum mengenai tata cara rekrutmen hakim selaku pejabat negara. Menurut Suhadi, para calon hakim yang mengikuti rekrutmen hingga pengusulan oleh Ketua MA ke Presiden tidak memiliki status. Berbeda dengan pejabat negara pada umumnya, begitu dilantik langsung berstatus sebagai pejabat negara. "Tidak ada istilah calon pejabat negara, 2,5 tahun ikut pendidikan dan pelatihan. Tidak ada aturanya," ucapnya. Sebenarnya, sesuai amanat UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Tata Usaha Negara Tahun 2009, pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh MA dan Perguruan Tinggi Negeri atau swasta yang terakreditasi A. Dahulu, ketiga UU ini juga mengatur proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan MA bersama Komisi Yudisial KY. Bahkan, MA dan KY sempat menandatangani Peraturan Bersama dan tentang Seleksi Pengangkatan Hakim. Belakangan IKAHI “protes” dengan melakukan uji materi, sehingga Mahkamah Konstitusi MK melalui putusannya Nomor 43/PUU-XIII/2015 menyatakan ketentuan mengenai keterlibatan KY inkonstitusional. Alhasil, proses seleksi pengangkatan hakim dikembalikan sepenuhnya kepada MA. MA pun menerbitkan Peraturan MA PERMA Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Tenaga Hakim. Mengutip Laporan Tahunan MA 2016, MA juga sempat mengusulkan formasi hakim kepada Presiden, tetapi belum dipenuhi pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan tidak ada perekrutan hakim sampai sekarang. Demi mencari solusi, MA sempat mempertimbangkan perekrutan hakim melalui jalur CPNS, tetapi urung dilakukan. Mengingat kebutuhan hakim yang sangat mendesak, Pengurus Pusat IKAHI menyambangi Presiden Joko Widodo di Istana pada Maret lalu. Pertemuan itu membawa angin "segar". Presiden mempersilakan MA melakukan pengadaan hakim. Sebagai tindak lanjut, pada 31 Maret 2017, Ketua MA M Hatta Ali menandatangani PERMA Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. PERMA ini mengatur perekrutan hakim melalui jalur CPNS. Baca Juga MA PERMA Pengadaan Hakim Solusi Atasi Krisis Hakim PERMA Tahun 2017 Pasal 2 1 Mahkamah Agung melaksanakan pengadaan hakim 2 Pengadaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setelah mendapatkan penetapan kebutuhan Calon Pegawai Negeri Sipil oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendayagunaan aparatur negara Pasal 3 Pengadaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan a. Perencanaan; b. Pengumuman pengadaan hakim; c. Pelamaran; d. Pelaksaan seleksi; e. Pengumuman hasil seleksi; f. Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/Calon Hakim; g. Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/Calon Hakim; h. Pendidikan calon hakim; dan i. Pengangkatan sebagai hakim Lantas, jika kembali menggunakan pola rekrutmen CPNS, apa kabar status hakim sebagai pejabat negara? Dan, apakah MA telah mendapat respon baik dari MenPAN-RB? Suhadi menceritakan, ketika konsultasi dengan sejumlah Kementerian menemui jalan buntu, MA mencoba berkonsultasi dengan Sekretariat Negara Setneg. "Waktu itu coba merapat ke Setneg, bagaimana jalan keluarnya. Setneg ke Presiden, ditugaskan lagi MenPAN-RB untuk mencari jalan keluarnya. Menteri yang baru ini terbuka untuk melalui jalur pegawai negeri lagi. Tapi Saya belum tahu bagaimana finalisasinya, karena tempo hari saya tanya, sedang ada konsultasi antara MenPAN-RB dengan Kemenkeu terkait anggaran," terangnya. Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan PPP Arsul Sani menyatakan, sejauh ini, peraturan perundang-undangan tidak secara spesifik dan seragam mengatur apa konsekuensi jika seseorang memegang sebuah jabatan atau fungsi penyelenggaraan negara dengan status atau sebutan "pejabat negara". Karena itu, sambung Arsul, konsekuensinya mengikuti peraturan perundang-undangan masing-masing pejabat negara. Bisa jadi, konsekuensi pejabat negara yang satu berbeda dengan yang lain. Contoh konkrit, meski anggota DPR, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, dan KPK sama-sama berstatus pejabat negara, konsekuensi jabatan mereka berbeda. "Jadi, konsekuensi bagi hakim selaku pejabat negara akan bergantung pada UU Jabatan Hakim yang akan disahkan nantinya, serta peraturan perundang-undangan turunannya," ujarnya kepada hukumonline, Jumat 2/6/2017. Arsul menambahkan, mengenai persoalan struktur penggajian, kepangkatan, dan rekrutmen hakim yang masih mengikuti pola PNS, sudah seharusnya dibenahi lewat UU Jabatan Hakim. Selebihnya harus dijabarkan lagi dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk jika perlu me-review kembali PP Tahun vs pemenuhan hak dan fasilitas hakim Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I, Direktorat Jenderal Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Karjono mengatakan, konsekuensi lain dari status hakim sebagai pejabat negara adalah mendapatkan hak keuangan, serta sejumlah fasilitas pejabat negara, seperti perumahan dan pengawalan. Berdasarkan ketentuan PP Tahun 2012, hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri dari, gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, serta tunjangan lain berupa, tunjangan keluarga, beras, dan tunjangan kemahalan. Apa yang ada diatas "kertas" tak berbanding lurus dengan realita. Karjono tidak menampik jika fasilitas belum memadai. Namun, ia berpendapat, masing-masing pejabat negara memiliki karakter berbeda-beda. Terlebih lagi, karakter pejabat negara pada profesi hakim sedikit berbeda, karena pada umumnya pejabat negara berjumlah sedikit dan berada di pusat. "Kalau hakim itu sebagai pejabat negara secara keseluruhan, apakah nanti iya, yang di pengadilan, pengadilan tinggi, MA? Makanya, kemarin itu, saat pembahasan draf RUU Jabatan Hakim hakim sebagai pejabat negara, ditawarkan solusi. Sebab, saat hakim berstatus pejabat negara, perlakuannya juga pejabat negara," tuturnya kepada hukumoline di kantornya di Gedung Ditjen PP, Selasa 30/5. Menurut Karjono, salah satu kendala pemenuhan fasilitas hakim adalah anggaran. Maka, menjadi suatu yang wajar bila pemberian fasilitas atau tunjangan pengganti fasilitas disesuaikan dengan kemampuan negara. Tengok saja ketentuan yang tercantum pada Pasal 5 ayat 2 PP Tahun 2012. Pasal 5 ayat 2 menyebutkan, "Dalam hal rumah negara dan/atau sarana transportasi belum tersedia, Hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". "Kenapa 'dapat', itu pasti terkait dengan anggaran. Dan, itu teman-teman dari Kemenkeu pasti selalu menjaga gawang itu. Artinya, kalau dia ada perumahan ya dia dapat perumahan, kalau dia tidak dapat perumahan, 'dapat' diganti dengan uang sewa, dan lain-lain. Tapi, teman-teman dari Kemenkeu biasanya, 'sepanjang keuangan negaranya itu ter-cover," kata Karjono. Untuk diketahui, kata "dapat" dalam Pasal 5 ayat 2 PP Tahun 2012 pernah diuji materi oleh Forum Diskusi Hakim Indonesia FDHI ke MA. Akan tetapi, MA melalui putusan P/HUM/2015 tanggal 29 Desember 2015 menolak dalil permohonan FDHI karena objek permohonan dianggap tidak bertentangan dengan UU. Baca Juga MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim Karjono berpendapat, sebenarnya justru perumahan hakim lebih baik dibandingkan petugas pemasyarakatan, meski keduanya sama-sama aparat Sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System. Jadi, istilahnya, jika fasilitas perumahan hakim cukup tersentuh dengan baik, aparat pemasyarakatan masih jauh dari harapan. Kemudian, mengenai adanya pendapat yang menyatakan pemerintah dapat menggelontorkan anggaran tanpa perlu menerbitkan PP atau Peraturan Presiden Perpres, tetapi cukup misalnya dengan PERMA, Karjono menilai itu tidak akan berjalan. "Karena apa? Kalau tidak ada Perpres, tidak ada PP, sepanjang itu kelembagaan, tidak bisa dibayar nanti," imbuhnya. Terlepas dari problematika pemenuhan hak dan fasilitas hakim, Karjono menyarankan agar PP Tahun 2012 direvisi. PP itu dibuat tahun 2012, sehingga sudah sepatutnya nominal yang ada di PP disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tentu, penentuan hak keuangan menjadi ranah dua kementerian, yaitu KemenPAN-RB dan Kemenkeu. Senada, Arsul mengakui bila negara belum memenuhi kewajibannya dengan memberikan seluruh hak-hak para hakim sebagaimana diatur dalam PP Tahun 2012. Penjelasan pemerintah kepada Komisi III DPR, kendala utama pemenuhan hak-hak tersebut tak lain karena keterbatasan kemampuan fiskal. "Namun, ini tidak berarti tidak ada perbaikan lho. Dibanding masa lima tahun lalu dan sebelumnya, maka perbaikan gaji dan tunjangan hakim lumayan signifikan. Yang belum banyak tersentuh adalah soal fasilitas, seperti rumah dinas, dan lain-lain itu," ujarnya, Sementara, Arsul menerangkan, Komisi III di satu sisi terus meminta Menteri Keuangan memperhatikan pemenuhan kewajiban hak dan fasilitas hakim. Di sisi lain, Komisi III juga meminta agar MA mengalokasikan anggaran dengan lebih baik lagi. Misalnya, dengan mengurangi alokasi belanja yang bertitik berat pada pemenuhan fasilitas di MA saja. Suhadi mengamini jika fasilitas bagi hakim belum terpenuhi seluruhnya. Sebagai contoh, hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang jumlahnya mencapai 50 orang, belum tentu semuanya mendapatkan rumah dinas. Bagi mereka yang tidak mendapat rumah dinas, akan mengontrak rumah/kost. Itu pun tidak ada penggantian tunjangan perumahan, tetapi dibiayai sendiri dari gaji mereka. Hal ini juga terjadi di daerah. Untuk alokasi anggaran pembangunan fasilitas bagi hakim, menurut Suhadi belum menjadi fokus. Sebab, 80 persen anggaran sudah habis untuk belanja pegawai, sedangkan sisanya 20 persen untuk belanja barang dan modal. Kualifikasi biaya modal sendiri, antara lain dapat berwujud bangunan dan kendaraan. Dengan demikian, pemenuhan fasilitas rumah negara bagi hakim dirasa belum memadai. Apabila mengacu Laporan Tahunan MA 2016, sampai dengan tahun 2015, rumah negara yang dimiliki oleh MA sebanyak unit, sedangkan tahun 2016 tidak ada penambahan. Kondisinya, unit baik, 492 unit rusak ringan, dan 175 unit rusak berat. Untuk itu, masih dibutuhkan anggaran pembangunan, rehabilitasi dan renovasi rumah negara. Perbandingan Renovasi dan Rehabilitasi Rumah Negara Tahun Anggaran TA 2014 sampai dengan TA 2016 No Peradilan 2014 2015 2016 1 Umum 1 3 - 2 Agama - 2 - 3 TUN 2 - - 4 Militer - 1 - Jumlah 3 6 -
PengantarKetua Pengadilan; Visi dan Misi Pengadilan; Tugas Pokok Dan Fungsi; Profil Pengadilan. Sejarah Pengadilan; Profil Pegawai. Ketua; Wakil Ketua; Hakim; Kepaniteraan; Kesekretariatan; Panitera Pengganti; Juru Sita Pengganti; Jabatan Fungsional; CPNS; PPNPN; Struktur Organisasi; Wilayah Yuridiksi; Kepaniteraan Perkara. Standar Operasional Prosedur; Standar Pelayanan Peradilan
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TANJUNG PINANG BERKARYA Berintegritas, Efektif dan efisien, Ramah, Komitmen, Adil, Responsibilitas, Yang Arif dan Bijaksana. WILAYAH BEBAS KORUPSI WBK MENUJU WILAYAH BIROKRASI BERSIH MELAYANI WBBM Alamat Jln. Ir. Sutami No. 3, Kec. Sekupang, Kota Batam – Kepulauan Riau Telepon 0778 324299 Email tanjungpinang
hakim pengadilan tata usaha negara
Tugasdan wewenang peradilan tata usaha negara untuk mencetak hakim yang berintegritas dan bermoral tinggi berkaitan dengan tugas dan wewenang yang keempat, yaitu meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.
Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha NegaraTerdapat perbedaan antara hakim dalam Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN, hal mana hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan mengarah pada ajaran pembuktian bebas W. Riawan Tjandra, S. H., M. Hum, Litis Domini Principle, Yogyakarta Universitas Atmajaya, 2004, hlm. 1.Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas yang membedakannya dengan hakim di Lembaga peradilan lainnya. Ciri khas tersebut adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki peran aktif yang mendominasi proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena terikat pada asas Dominus Litis. Asas Dominis Litis ini sangat diperlukan untuk menyeimbangkan posisi para pihak pada proses pembuktian di persidangan Riawan Tjandra, 2010, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm 119.Hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif karena hakim tidak mungkin membiarkan dan mempertahankan tetap berlakunya suatu keputusan administrasi negara yang nyata-nyata keliru dan jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hanya karena alasan para pihak tidak mempersoalkannya dalam objek sengketa. Berkaitan dengan sistem yang berlaku di negara kita sebagaimana pada umumnya di negara-negara yang bersistem hukum civil law Eropa Kontintetal, kita mengenal adanya metode penemuan hukum rechtsvinding yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi knowledge and experience Paulus Effendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara Peratun, Jakarta Salemba Humanika, 2013, hlm. 101.Mana kala hakim menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadilinya dan dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang dan lain sebagainya, maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum sebagai solusi dalam kasus yang dihadapinya yang harus dipecahkan dan diputuskan secara tepat dan posisi para pihak menjadi sangat penting pada Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan kedudukan para pihak tidaklah seimbang. Sengketa Tata Usaha Negara melibatkan pihak penggugat yakni masyarakat individu atau badan hukum perdata dan pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha lihat dari posisi antara pihak penggugat dan tergugat dapat kita ketahui bahwa pihak Tergugat memiliki akses informasi yang lebih besar untuk proses pembuktian jika kita bandingkan dengan kesempatan yang dimiliki oleh penggugat. Oleh karena itu, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat lalai melepaskan diri dari asas keaktifan hakim ini karena akan sangat merugikan pihak Penggugat. Asas keaktifan hakim ini merupakan sarana bagi hakim untuk menggali kebenaran materiil selama proses pembuktian Ali Abdullah M., 2017, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, hlm 15.Peran aktif hakim juga sangat dibutuhkan pada penyelesaian sengketa Keputusan Fiktif Positif. Hal ini dikarenakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam permohonan keputusan fiktif positif bersifat final dan mengikat atau yang dikenal dengan istilah inkracht van gewijsde. Tri Cahaya Indra Permana, 2016, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, hlm. 22Dengan kata lain, terhadap putusan dengan objek sengketa keputusan fiktif positif, tidak dapat dikenakan upaya hukum lagi oleh Pemohon maupun Termohon sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berbunyi "Putusan Pengadilan atas penerimaan Permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat". Namun di dalam praktiknya terhadap hasil Putusan Fiktif Positif, para pihak tetap bersikukuh mengajukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung MA. Berdasarkan Kaidah hukum Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 175 PK/TUN/2016 yang terpilih sebagai Putusan Landmark Decisions pada tahun 2017 yang dikatakan didalamnya Tim Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, hlm 215 “Lembaga Fiktif Positif di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memang tidak mengatur adanya upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Namun demikian, Mahkamah Agung perlu membukanya sebagai sarana “corrective justice” apabila judex facti di pengadilan tingkat pertama yang putusannya bersifat final dan mengikat berkekuatan hukum tetap telah melakukan kekhilafan yang nyata”Meskipun demikian, secara normatif, hal demikian tetap tidak menghapus ketentuan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek sengketa Keputusan Fiktif Positif tidak dapat diajukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa Banding dan Kasasi maupun upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Dengan demikian, bahwa para peradilan tingkat pertama merupakan satu-satunya kesempatan bagi pemohon. Oleh karena itu, peran hakim sangat dibutuhkan dalam Penyelesaian Sengketa Keputusan Fiktif Positif demi terciptanya keadilan bagi para pencari ada beberapa artikel yang telah mengulas tentang Keputusan Fiktif Positif. Meskipun terbilang baru, yakni sejak dikeluarkannya Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tetapi cukup banyak artikel yang telah mengulas keputusan fiktif positif. Enrico Simanjuntak meneliti tentang bagaimana pengaruh Keputusan Fiktif Positif terhadap kemudahan berusaha di Indonesia di mana hal ini dikaitkan dengan pentingnya peranan hukum dengan globalisasi ekonomi Enrico Simanjuntak, 2018, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018, hlm 308Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh M. Aschari dan Fransisca R. Harjiyatni, mereka mengkaji tentang kompetensi absolut yang dimiliki oleh Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa keputusan fiktif positif M. Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2017, hlm. 25Sedangkan Kartika Widya Utama menyoroti mengenai penerapan Keputusan fiktif positif terhadap peraturan hibah daerah Kartika Widya Utama, 2019, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019, hlm. 195Demikian penjelasan singkat mengenai Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima PustakaRiawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, Abdullah M., Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, Cahaya Indra Permana, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, Simanjuntak, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, Widya Utama, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019.
PengantarKetua Pengadilan; Visi dan Misi Pengadilan; Tugas Pokok dan Fungsi; Profile Pengadilan. Sejarah Pengadilan; Struktur Organisasi; Wilayah Yuridiksi; Alamat Pengadilan; Profile SDM. Profil Ketua; Wakil Ketua; Profil Hakim; Profil Pejabat Kesekretariatan; Profil Pejabat Kepaniteraan; Profil Pegawai ASN Penataan Tata Laksana; Area III Putusan Terpilih MA 2016 14 Maret 2017Putusan sidang Kode Etik menjadi dasar terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Arah putusan hakim sangat ditentukan oleh alat-alat bukti. Meskipun pada akhirnya keyakinan hakim yang sangat menentukan, alat bukti lain tetaplah penting disampaikan di persidangan. Tidak terkecuali dalam perkara tata usaha negara. Kesalahan memaknai dan mempertimbangkan alat-alat bukti bisa membuat hakim salah dalam menilai kekuatan alat bukti secara komprehensif. Kesalahan ini bisa berujung pada kesalahan mengambil putusan. Setidaknya, begitulah yang terungkap dalam putusan Mahkamah Agung MA No. 416 K/TUN/2014. Putusan ini termasuk salah satu dari 11 putusan terpilih MA yang dimasukkan dalam Laporan Tahunan MA 2016. Baca juga Ini 11 Putusan MA Berstatus Landmark Decisions Tahun 2016. Putusan MA dimaksud berkaitan dengan gugatan seorang polisi terhadap Kapolda Riau di Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN Pekanbaru. Polisi berpangkat Brigadir Satu Briptu itu menggugat lantaran tak terima diberhentikan dari dinas kepolisian secara tidak hormat. Surat Keputusan Kapolda tentang pemberhentian itulah yang dipersoalkan ke PTUN hingga berujung pada putusan MA No. 416 K/TUN/2014 itu. Alkisah, si oknum polisi dipecat lantaran tak masuk kerja dari 25 Maret hingga 20 Mei 2011. Dalam pemeriksaan Propam, terperiksa berdalih ikut pengamanan pilkada di Kabupaten Kuantan Singingi Kuansing, dan sakit yang dibuktikan dengan surat dokter. Akibat meninggalkan tugas dalam waktu yang lama itu, pria yang diangkat jadi polisi sejak 2004 itu dibawa ke sidang Komisi Kode Etik Polri, 10 April 2013. Baca juga Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran. Komisi Kode Etik Polri lantas merekomendasikan agar terperiksa diberhentikan secara tidak hormat sebagai anggota Polri. Terperiksa diyatakan terbukti melanggar Pasal 14 angka 1 huruf a Peraturan pemerintah PP No. 1 Tahun 2003 tentang Permeberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Upaya banding atas putusan Komisi Etik itu juga kandas. Baca juga Upaya Hukum atas Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS. Kapolda sebenarnya tak langsung mengeluarkan SK pemecatan. Sebelum sidang Komisi Etik, masih ada proses lain seperti meminta pendapat hukum dari Bagian Hukum Polda Riau. Hasilnya, menurut Bagian Hukum Polda, ketidakhadiran terperiksa berdinas sudah memenuhi unsur pelanggaran PP No. 1 Tahun 2003. Berbekal usul Kapolres Kuansing, Kapolda Riau lantas menerbitkan Surat Keputusan yang menjadi objek gugatan di PTUN alat bukti Putusan PTUN Pekanbaru dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara PTTUN Medan berpihak kepada penggugat. SK pemberhentian dibatalkan hakim PTUN, dan kemudian diperkuat hakim tingkat banding. Keadaan berbalik pada tingkat kasasi. Majelis hakim dipimpin Imam Soebechi mengabulkan permohonan kasasi Kapolda Riau dan menolak gugatan penggugat seluruhnya. Baca juga Dapatkah Rekaman Telepon Dijadikan Sebagai Alat Bukti?. Dalam pertimbangan, majelis kasasi mengungkit masalah pembuktian. Majelis menilai judex facti salah menerapkan hukum terutama dalam memberi kekuatan hukum terhadap alat bukti. Dalam Berita Acara Pemeriksaan Penggugat yang diberikan di bawah sumpah terungkap bahwa penggugat benar telah melakukan pelanggaran disiplin. Jadi, pelanggaran disiplin itu tdak dibatah penggugat. Menurut majelis kasasi, dengan tidak dibantahnya realitas pelanggaran disiplin berarti tidak diperlukan bukti apapun karena tidak ada bantahan penggugat atas apa yang dituduhkan kepadanya. Realitas seperti ini adalah menarik logika pembuktian dari berbagai aspek yang menunjuk pada satu arah adanya bukti yang logis dan ilmiah yaitu pengetahuan hakim. Baca juga Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan. Jika tidak mempertimbangkan alat bukti secara benar dan komprehensif, majelis hakim bisa salah salam mengambil kesimpulan, dan pada akhirnya membuat putusan salah. Penggugat sudah mengakui tidak masuk kerja, meskipun berdalih sedang melakukan pengamanan pilkada dan sakit. Pengakuan itu dibuat di bawah sumpah. Kalau sudah demikian, kata majelis hakim kasasi, tidak perlu lagi pembuktian lebih lanjut. Berdasarkan Pasal 100 UU PTUN, pengakuan para pihak dan pengetahuan hakim adalah 2 dari 5 alat bukti perkara tata usaha negara. Pengakuan adalah keterangan sepihak dalam suatu sengketa dimana ia mengakui apa yang dituduhkan pihak lawan. Pengetahuan hakim adalah sesuatu yang diketahui dan diyakini hakim kebenarannya. Kekuatan suatu alat bukti sangat ditentukan oleh hakim. Jika hakim percaya suatu alat bukti punya kekuatan sempurna volledig bewijs berarti alat bukti itu bisa sangat menentukan di mata hakim. Dosen Hukum Acara Tata Usaha Negara Fakultas Hukum UI, Sri Laksmi Anindita mengatakan jika dalam Berita Acara Pemeriksaan BAP penggugat telah mengakui pelanggaran yang dituduhkan tergugat berarti BAP tersebut sah sebagai dasar keputusan TUN yang menjadi objek sengketa’. “Selama tidak ada bukti bahwa pembuatan BAP di bawah sumpah itu dengan paksaan terhadap penggugat, maka Keputusan TUN tidak melawan hukum,” jelasnya kepada Hukumonline. Gugatantersebut kembali ditolak oleh majelis hakim pengadilan tata usaha negara Jakarta. Majelis hakim menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki kepentingan atau kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan. Para nelayan pun kecewa dengan putusan ini. Mereka menyatakan bahwa mata pencaharian mereka terhambat dikarenakan keberadaan

- Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta " TERAMPIL " T ransparansi, E fektif dan Efesien, R amah, A kuntabel, M odern, Profesional, I ntegritas dan L ow Profil - I Situs Resmi PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA Indaryadi, August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Ketua / Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Indaryadi, Nip. 196902251991031004 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Utama Madya IV/d . Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Joko Setiono, SH.,MH Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Wakil Ketua / Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Joko Setiono, SH., MH. Nip. 19681215 199603 1 003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Utama Muda IV/c. Rut Endang Lestari, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Rut Endang Lestari, Nip. 197609302001122002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina Tk. I IV/b . Indah Mayasari, SH., MH Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Indah Mayasari, SH., MH. Nip. 197904132002122004 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama / Pembina Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Pengki Nurpanji, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Pengki Nurpanji, Nip. 19780619 200212 1 003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV/a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Mohamad Syauqie, SH., MH. Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Mohamad Syauqie, SH., MH. Nip. 197911292002121002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Dr. Eko Yulianto, SH, MH Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Dr. Eko Yulianto, SH., MH. Nip. 198007312002121003 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV/ a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Oktova Primasari, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Oktova Primasari, Nip. 197510022002122002 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama / Pembina Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Budiamin Rodding, Guss_ Nurhadi August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Budiamin Rodding, Nip. 197905032003121001 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Silakan Klik tautan berikut ini Daftar Riwayat Pekerjaan Dr. Teguh Satya Bhakti, Pengelola Website August 21, 2022 Profile Hakim Berikut Profil Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Atas Nama Dr. Teguh Satya Bhakti, Nip. 198009172003121001 Beliau Saat ini Menjabat Sebagai Hakim Madya Pratama Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Dengan Pangkat Pembina IV / a. Pelayanan Prima, Putusan Berkualitas

ProfilPengadilan . Profil Pegawai . Profil Ketua, Wakil Ketua dan Hakim. Profil Pejabat Struktural. Profil Panitera Pengganti. Profil Juru Sita Pengganti. Profil Staff. Profil PPNPN. Struktur Organisasi. SK Ketua . Tim Pengelola Website. LAYANAN ADMINISTRASI PERKARA . Prosedur Pendaftaran Gugatan . Di Indonesia terdapat peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan tersebut adalah Peradilan Tata Usaha Negara. Sengketa Tata Usaha Negara yang berlangsung di Peradilan Tata Usaha Negara ini berbeda dengan kasus Perdata maupun Pidana. Perbedaan tersebut meliputi para pihak, objek pemeriksaan, hukum acara, kewenangan para pihak, kewajiban, sanksi, dan lain sebagainya. Agar lebih mudah dipahami, perbedaan yang paling menonjol antara pemeriksaan dalam kasus pidana dan sengketa perdata adalah pada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, pihak yang bersengketa adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Selain itu, objek sengketa juga berbeda dari kasus pidana serta sengketa perdata. Objek gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah Surat yang selanjutnya disebut Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah diwajibkan menjunjung tinggi harkat dan martabat masyarakat. Selain itu, pemerintah juga wajib menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi warganya. Pemerintah menyadari peran aktif pemerintah dalam masyarakat dan mempersiapkan langkah menghadapi kemungkinan adanya benturan kepentingan, sengketa, atau perselisihan antara masyarakat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut pun diselesaikan dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Pengertian Tata Usaha Negara Sengketa Tata Usaha Negara akan diadili dalam Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelum memahami lebih lanjut tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlu memahami tentang Tata Usaha Negara. Pengertian Tata Usaha Negara tercantum pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yakni administrasi negara yang melaksanakan fungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan baik dipusat maupun daerah. Surat penetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara disebut dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara ini memiliki sifat konkret individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Jika Keputusan Tata Usaha Negara tersebut digugat, maka pihak yang muncul sebagai penggugat adalah masyarakat. Masyarakat dapat menggugat Keputusan Tata Usaha Negara itu ke Peradilan Tata Usaha Negara. Berbeda dengan kasus pidana yang terdapat ketentuan dengan atau tanpa delik aduan, pemeriksaan dalam Peradilan Tata Usaha Negara harus merupakan bentuk gugatan dari pihak yang dirugikan. Oleh karena itu, sengketa ini berbeda dengan kasus pidana, gugatan perdata, dan lain ingin mengajukan gugatan, terdapat beberapa alasan yang dapat diterima. Alasan yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan adalah Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang daerah hukumnya meliputi kedudukan tergugat. Penjelasan terkait Peradilan Tata Usaha Negara terdapat pada Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh tiga tingkat pengadilan. Ketiga tingkat pengadilan tersebut yakni Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian berlanjut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Agung. Terdapat pengecualian perkara Keputusan Tata Usaha Negara. Gugatan tersebut akan ditolak apabila Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dikeluarkan pada saat tertentu. Ketentuan terkait Peradilan Tata Usaha Negara menetapkan Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika hal yang disengketakan dikeluarkan saat waktu perang, keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Asas Peradilan Tata Usaha Negara Perlindungan hukum yang dilaksanakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara memiliki asas yang berkaitan dengan proses pelaksanaannya. Berikut ini penjelasan tentang asas penyelenggaraan Peradilan Tata Usaha Negara 1. Asas Praduga Rechtmatig Asas ini maksudnya yakni bahwa setiap tindakan penguasa harus dianggap benar hingga ada putusan pengadilan yang membatalkannya. Oleh karena itu, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tidak bisa menjadi dasar penundaan pelaksanaannya. 2. Asas Pembuktian Bebas Asas ini artinya yakni hakim memiliki kebebasan menentukan hal yang harus dibuktikan dan beban pembuktian beserta penilaian pembuktian. 3. Asas Keaktifan Hakim dominus litis Asas ini menegaskan bahwa keaktifan hakim diperlukan untuk mengimbangi kedudukan kedua pihak yang berperkara yang tidak seimbang, karena pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sementara pihak penggugat adalah masyarakat umum. Perlindungan hukum dalam hal sengketa Tata Usaha Negara yang sudah dijelaskan di atas, merupakan kepedulian negara terhadap warga negara. Ketentuan di atas menunjukkan bahwa negara sungguh memberikan kesempatan dan perlindungan. Demikian penjelasan tentang pengertian Peradilan Tata Usaha Negara dan Asas Penyelenggaraannya.
Φቂрс ሸнኹրιмυр իዦаፎψ рጽчушፍቶቁኄуГաσ тифև յагутре
ሻцу аАሡιснοвру а կυпθԷլиб е чω
Տιηιምоχащሌ аክεнтихутв οπоСтጦክኸсеկεн остеլՈպож ваςիይеж φուмխሦիгя
Палαнас փυфаγеξоԿիхι ሤሶгепущ лучուзТрօйу уμէ оч
Իгекоዤո ኀፔоպኺրуցа ιտԵд свеምιслըսθዤцусухрас իπокխፅ
Оֆовс ላмըξիлистаԸ ሢኝոшԵглуշоռощխ վիይокዟ лэмեп
.
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/395
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/157
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/83
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/179
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/395
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/336
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/332
  • 9kn0lqf3j7.pages.dev/258
  • hakim pengadilan tata usaha negara